Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125)
Ayat ini berisi panduan khusus mengenai bagaimana berdakwah yang cerdas. Sekalipun dakwah kepada Allah merupakan amal soleh, tetapi seorang aktivis dakwah dalam mengerjakan tugasnya tidak boleh bersahaja. Sekadar meyakinai bahawa Allah pasti menolongnya. Tidak, tidak demikian seharusnya seorang aktivis dakwah. Tetapi aktivis dakwah harus cerdas dalam menjalankan tugasnya. Sebab, kerja dakwah bukan pekerjaan biasa. Ia pekerjaan yang sangat mulia, menuntut perhatian khusus dan cara-cara penyampaian yang kreatif.
Berdakwah kepada Allah merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebab, yang memerintahkannya adalah Allah yang Maha Agung. Perhatikan kata ud’u ilaa sabiili rabbika (serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu), ini menunjukkan bahawa tugas dakwah datang langsung dari Allah swt. sebagai bukti pentingnya tugas tersebut. Rasulullah saw. yang menerima tugas ini telah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Seluruh hidupnya bila kita pelajari secara mendalam, tidak lebih dari cerminan dakwah kepada Allah. Setelah Rasulullah wafat tugas dakwah ini secara otomatik dioffer kepada umatnya, kerana Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran:110)
Tidak dapat dimungkiri bahawa berdakwah di jalan Allah pasti akan berhadapan dengan tentangan yang sangat berat. Renungkanlah kata ilaa sabiili rabbika, di sini Anda akan mendapatkan kesan bahawa tugas utama manusia sebenarnya adalah mengikuti jalan Allah swt. Tetapi kerana setan bekerja keras untuk membuat manusia tergelincir, akhirnya banyak dari manusia yang keluar dari jalan Allah. Seorang aktivis dakwah yang cerdas hendaklah sentiasa berusaha untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Tentu saja di sini maksudnya bukan hanya orang kafir, melainkan banyak juga orang-orang Islam yang lemah iman ikut juga tergelincir. Oleh kerana itu, fokus utama dakwah selain mengislamkan orang-orang kafir, juga mengembalikan orang-orang Islam ke jalan yang tepat. Untuk ini sangat diperlukan langkah-langkah cerdas. Sebagaimana pada ayat di atas, mengajarkan kita tiga langkah, dengan dakwah akan menjadi efektif di mana pun disampaikan ;
Berdakwah Dengan Hikmah
Hikmah menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membezakan antara yang hak dengan yang bathil. Di dalam kata hikmah terkandung makna kukuh. Allah berfirman: kitaabun uhkimat aayaatuhu. Dikatakan kepada sebuah bangunan yang kukuh: al binaa’ul muhkam. Bila kata hikmah digabungkan dengan dakwah maksudnya di sini adalah bahawa dakwah tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah terhenti di tengah jalan. Ia terus berjalan dalam keadaan apapun. Aktivisnya tidak pernah kenal lelah. Segala kemungkinan yang berlaku, dapat dijuangkan demi tegaknya kebenaran, dan ditempuhnya dengan lapang dada.
Di dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom) . Dakwah yang bijak menurut Ustadz Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan keadaan dari para mad’u (objek dakwah). Sejauh mana kemampuan daya tarik yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas diberikan di luar kemampuan si mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeza. Diupayakan setiap satu tugas yang diberikan sejalan dengan kapasiti intelektual mereka (lihat fii dzilaalil Qur’an, Sayyid Quthub vol.4, hal.2202). Perhatikan bagaimana Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dalam berbagai situasi dan keadaan: pertama kali mengenai ayat-ayat keimanan, kerana surat-surat waktu Makkah lebih cenderung kepada masalah keimanan. setelah hijrah ke Madinah, dan iman para sahabat telah kukuh, barulah Allah turunkan ayat-ayat tentang syariat.
Siti A’isyah r.a. pernah menkomentar masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahawa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai iman kepada Allah swt. Baru setelah iman para sahabat kuat, diturunkan ayat-ayat tentang halal-haram. Lalu Aisyah berkata: Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau minum khamer, nescaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau berzina, nescaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya (HR. Bukhari, no. 4609).
Dalam rangka ini pula ayat-ayat mengenai larangan minum khamer tidak straight sekaligus, melainkan melalui empat tahapan: Tahap pertama Allah memberikan isyarat bahawa barang-barang yang memabukkan itu bukan rezeki yang baik: “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 67). Pada tahap kedua, Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Al-Baqarah: 219) Di sini Allah menerangkan bahawa khamar itu sebenarnya berbahaya besar. Kalaupun ada manfaatnya, itu hanya dari segi perdagangan saja, sementara bagi kesehatan ia sangat membahayakan.
Tahap Ketiga, Allah melarang seseorang yang mabuk kerana khamer untuk melakukan solat, tetapi minum khamernya masih belum dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An-Nisa’: 43). Di dalam ayat ini secara tidak langsung terkandung pengharaman minum khamer. Tetapi masih belum ditegaskan. Baru setelah tahapan itu semua, pada tahap keempat, Allah menegaskan bahawa khamer haram hukumnya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 90-91)
Jelas sekali bahawa cara-cara Al-Qur’an dalam mengembalikan manusia ke titik fitrahnya Sungguh sangat bijak. Demikian juga seorang aktivis dakwah yang cerdas, dia selalu berjalan sebagaimana tuntunan Al-Qur’an. Maka ia tidak memaksakan kehendak dengan cara mencaci-maki dan memburuk-burukkan orang lain yang tidak mahu bergerak dalam satu fikrah (baca: visi dan misi perjuangan). Dia selalu tenang, sekalipun dicaci-maki atau diperburuk-burukkan. Baginya berdakwah di jalan Allah adalah kemuliaan. Tetapi dengan syarat ilmu yang ia dakwahkan harus benar (baca: bashirah), bukan asal dakwah. Sebab di antara makna hikmah -menurut Ibn Abbas- adalah ilmu tentang Al-Qur’an (lihat mufradat alfadzil Qur’an, Ar Raghib Al Ashfahani, h.250). Jadi, tidak cukup jika hanya bermodal semangat, sementara pemikiran yang dianutinya salah. Oleh kerana itu Allah berfirman: “Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108). Jadi, tidak disebut hikmah - sekalipun ia tenang dan bijak- jika ia mengajak kepada kesesatan dan permusuhan terhadap umat Islam yang lain.
bersambung......
Label: artikel
Catat Ulasan
<< Hadapan