Sudah beberapa tahun ia tinggal di pinggiran kota. Tidak mungkin lagi hidup dan tinggal di pusat kota. Kemudian, dia dan keluarga pergi meninggalkan pusat kota, dan pergi ke pinggiran, yang agak jauh dengan pusat kota. Setiap hari dia harus pergi menempuh jarak yang jauh, menuju tempat dia bekerja. Setiap hari dia harus menghabiskan waktu, tidak kurang dua jam atau tiga jam, agar dia dapat sampai ke pusat kota. Terkadang lebih. Jika diperkirakan dia harus menghabiskan waktu enam jam, hanya untuk perjalanan dari rumah ke tempat bekerja. Proses kehidupan yang berat itu, terus dia jalani, tanpa henti. Tapi, dia tidak sendirian yang memiliki nasib seperti dirinya itu, dan mungkin jumlah mereka sangat banyak, tidak terhitung lagi. Orang-orang pinggiran kota, realitinya memang mereka adalah pinggiran, bukan golongan menengah secara ekonomi.
Terkadang manusia menghabiskan waktunya hanya mengejar keperluan hidup, kerana keperluan mereka tidak dapat dipisahkan dengan bekerja. Mereka tidak sendirian. Mereka memiliki anak, isteri dan keluarga, yang menjadi bahagian hidup mereka. Betapa, kehidupan manusia yang sudah dalam system dan tidak mungkin dapat lepas dari sistem itu. Kehidupan mereka menjadi sebuah hal yang rutin, yang tidak putus-putus. Inilah yang menyebabkan manusia harus berkerja. Inilah yang menyebabkan seseorang, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehidupan yang jauh dari Rabbnya. Inilah yang menyebabkan manusia tidak lagi memikirkan antara dosa dan pahala.mereka menjadi tidak focus, Mereka harus menyesuaikan diri dengan hanya sekadar mempetahankan kehidupan mereka yang sangat diperlukan.
Meskipun, tidak sedikit manusia yang kelihatannya tidak berdaya, tapi mereka memiliki tekad yang kuat, dan tidak pernah menyerah dengan kehidupan,yang menistakan itu. Mereka jalani kehidupan dengan penuh semangat. Tidak mahu melepaskan janjinya, dan komitmennya yang teguh, dan terus menghamba kepada Rabbnya. Betapapun himpitan hidup menderanya. Ia tidak mahu melepaskan dirinya dari komitmennya terhadap ‘ad-dinul Islam’, yang menjadi asam garam kehidupannya. Keteguhannya mengalahkan segala penderitaan yang ia terima. Tidak pernah berkeluh. Apalagi, berburuk sangka (berkhusnudzan) terhadap Allah Azza Wa Jalla. Ia dengan penuh ketulusan, dan menyakini semua perintah Rabbnya, dan yakin akan janji-Nya.
Maka, betapapun keadaan lingkungan atau bi’ahnya yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini, tapi ia besi kukuh menerima hal yang pasti akan diterimanya, ketika saat menghadap Rabbnya, bahawa segala kebaikan pasti akan mendapat balasan. Tidak pernah terbersit dihatinya oleh pengaruh duniawi, yang kadang-kadang melalaikannya. Ia tidak mahu berbuat maksiat yang dapat merosak kehidupannya, yang sudah ia jalani, yang hampir mencapai lebih setengah abad. Jika ia menderita, penderitaan itu pasti tidak akan selamanya. Penderitaan itu akan berakhir dengan kematian. Bila, dirinya sabar, dan tidak meninggalkan perintah-Nya, pasti ia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Rabbnya.
Lelaki itu selalu ingat kisah Abu Darda’ yang menangis sendirian, justeru kala ia melihat umat Islam dapat menaklukan Cyprus, yang menjadi pusat kerajaan Romawi dahulu kala. Betapa ketika waktu itu, kekuasaan berada di tangan, dan segala harta benda, serta segala bentuk kenikmatan dunia, sudah ada di tangan kaum muslimin. Tapi, kisah tentang Abu Darda’ tidak pernah dia lupakan, dan terus tersimpan tersemat dalam dirinya. Ia patri dalam-dalam dadanya.
Kisahnya ketika itu, Abdurrahman bin Jubair, bercerita apa yang ia dengar dari ayahnya, Tatkala Cyprus (Romawi) ditaklukkan kaum muslimin, tiba-tiba mereka banyak yang menangis. Aku melihat Abu Darda’ menangis sendirian, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abud Darda’ apa yang membuatmu menangis di hari Allah Azza Wa Jalla memuliakan Islam dan pemeluknya?’. Ia berkata, ‘Celaka kamu wahai Jubair. Betapa hinanya makhluk disisi Allah Ta’ala, jika mereka mengabaikan perintah-Nya.Kamu tahu mereka sebelumnya adalah umat yang kuat dan pemenang, akan tetapi kerana mereka meninggalkan perintah Allah, maka kamu lihat seperti apa mereka sekarang? ‘
Betapa, banyak umat yang lalai, ketika datang kenikmatan yang diberikan oleh Allah Ta’ala, mereka menjadi tidak sabar, lalai, dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya, serta berbuat maksiat dan durhaka. Kenikmatan, yang sangat sedikit dibandingkan dengan nikmat yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla, kelak di surga, sebagai balasan atas keimanannya, justeru diabaikan, dan memilih kenikmatan di dunia, yang sangat hina.
Kemudian, banyak manusia yang melampaui batas, dan lebih rela mengejar dunia. Bahkan, Abud Darda’ menegaskan : “Beribadalah kalian kepada Allah, seakan kalian melihat-Nya, dan anggaplah diri kalian termasuk orang-orang yang mati”.
Dari Ummu Salamah berkata, aku mendengar Rasulullah shallahu alaihi wa salam bersabda : “Jika kemaksiatan merebak diantara umatku, maka Allah akan menimpakan azab yang akan mengenai sesiapa saja”. Kemudian sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah bukankah diantara mereka ada orang soleh?”. Lalu, jawab Rasulullah shallahu alaihi wa salam : “Betul”. Selanjutnya, sahabat bertanya : “Apa yang diperbuat mereka kepada mereka?”. Beliau menjawab : “Mereka juga merasakan apa yang dirasakan orang umumnya, mereka mendapatkan pengampunan dan redha dari Allah”. (HR.Ahmad).
Lelaki,yang tinggal dipinggiran kota itu, terus menelusuri jalan kehidupan, yang berliku, tapi ia tetap luruskan niatnya, dan ingin mendaptkan redha-Nya. Betapa, beratnya beban kehidupan yang harus ia hadapi. Setiap hari.
Dengan berbekal do’a, ketika pagi buta, ia meninggalkan rumahnya menuju kota, di mana ia harus bekerja. Ia jauhkan dirinya dari semua yang menjadi penghalang untuk mendapat keredhaan Rabbnya. Termasuk tidak ingin melakukan perbuatan dosa.
Wallahu ‘alam.
Label: artikel
Catat Ulasan
<< Hadapan