Tapi Allah kemudian menurunkan firmannya, ”Dan jika kamu melakukan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, maka kesabaranmu itu lebih baik bagimu. Dan hendaklah kamu tabahkan hatimu, dan hendaklah ketabahan hatimu itu kerana berpegang kepada Allah. Jangan pula kamu bersedih hati terhadap perbuatan mereka. Jangan pula kamu bersesak dada terhadap apa yang mereka rencanakan.” (QS 16: 126-127).
Nabi SAW pun akhirnya mengumpulkan kaum Muslimin dan menyampaikan pidato yang berisi larangan melempiaskan amarah dan dendam dengan melakukan penganiayaan biadab terhadap mayat-mayat musuh.
Dalam Islam, sikap menahan amarah mempunyai posisi yang sangat ketara. Menahan amarah akan menjadikan seseorang sanggup menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dalam bentuk apa pun.
Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik adalah kesatuan nilai yang mendasari ketakwaan. Menahan marah saja tanpa memaafkan bukan ciri orang taqwa, tetapi ciri orang pendendam. Berbagai penyakit fizik dan mental dimasak matang dalam dada yang membara menyimpan kemarahan. Kerana itu psikologi menyarankan kepada kita untuk mencari cara paling aman buat meledakkan kemarahan.
Sikap menahan amarah merupakan salah satu cirri-ciri orang bertakwa yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai penghuni syurga. Ini bererti bahawa ketakwaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menahan amarah yang dapat merugikan orang lain. Orang yang mampu menahan amarah bererti ia telah mampu meleburkan dirinya ke dalam diri orang lain dan membuang jauh-jauh sifat egoisnya.
Sejenak orang merasa lega setelah meluapkan amarahnya seperti penderita sakit kepala yang minum ubat. Menahan marah hanya dapat disembuhkan dengan memaafkan. Dale Carnegie, penulis populer, saat menawarkan kiat untuk menghilangkan rasa cemas, berkata”Kita tidak cukup suci untuk mencintai musuh-musuh kita. Tapi, demi kesehatan dan kebahagiaan kita, lupakan mereka dan maafkan mereka!”.
Sudah menjadi tabiat manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan merasa sakit hati dan boleh jadi berujung dengan kedendaman. Walaupun demikian, bukan bererti kita harus dendam setiap kali ada yang menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita dizalimi, maka doakanlah orang-orang yang menzalimi itu agar bertaubat dan menjadi orang saleh. Mampukah kita melakukannya?
Nikmat Allah yang paling besar bagi manusia setelah iman dan Islam adalah nikmat dikurniai-Nya maaf atau ampunan. Nikmat ini sentiasa diberikan Allah kepada setiap manusia, meski manusia terus-terusan melakukan perbuatan dosa. Namun tentunya dengan sebuah catatan, bahawa manusia yang diberikan nikmat ini hanya manusia yang sentiasa menyedari setiap perbuatan dosanya, dan untuk itu dia memohon maaf kepada Allah Swt. Oleh kerana itulah Allah kemudian memberi gelar diri-Nya Al Afwu, Yang Maha Pemaaf. Firman-Nya dalam surat An-Nisaa (4) ayat 149 : “Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”.
Lebih banyak kata pemaaf yang Allah tujukan buat memperlihatkan kebesaran-Nya, namun demikian ada sebuah ayat dalam Al-quran yang menyeru kepada manusia untuk meniru salah satu sifat Allah tersebut: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Al A’raaf(7):199).
Tetapi memaafkan tidaklah mudah. Kata para sufi, memaafkan harus dilatih terus menerus. Sifat pemaaf tumbuh kerana kedewasaan ruhani. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan di antara dua kekuatan: pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang soleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Allah Yang Maha Pengampun (To err is human, but to forgive is divine).
Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang tulus kepada orang lain, kerana itu untuk dapat memaafkan, kita harus memusatkan perhatian kita kepada orang lain. Kita harus beralih dari pusat ego kepada posisi orang lain. Orang-orang Altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) dalam Al-Qur’an, disebut sebagai orang-orang yang berbuat baik. Nabi Muhammad SAW. sangat terkenal sebagai pemaaf. Beliau menyerahkan serbannya sebagai tanda maafnya kepada Wahsyi, yang membunuh Pakciknya yang tercinta, Hamzah.
Suatu ketika Ali bin Husein r.a. berwudhu, hambanya menjatuhkan wadah air ke atas kepalanya. Takut kalau sudah menyakiti tuannya,hamba itu menggumamkan ayat Al-Qur’an (QS. Ali Imran:134), “…Orang-orang yang mengendalikan amarahnya…” Ali berkata, “Aku tahan marahku.”
Hamba itu melanjutkan,”…Dan orang - orang yang memaafkan orang lain….”. Ali berkata, “Aku maafkan kamu.”
Hamba itu menyelesaikan ayat itu, “…Sesungguhnya Allah mencintai orang - orang yang berbuat baik.” Ali pun berkata, “Aku merdekakan kamu.”
Menahan marah tanpa memaafkan hanya menumpuk penyakit. Memaafkan tanpa berbuat baik hanya memburukkan hubungan sosial. Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik harus dilakukan sekaligus.Allah menjelaskan ketiganya sebagai ciri-ciri orang taqwa. Setelah ketiganya Allah menjelaskan sifat berikut dari orang taqwa ialah meminta maaf (QS. Ali Imran:135). ”Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.”
Nampaknya hadits Rasulullah Saw berikut menjelaskan maksud kenapa Allah Swt menyeru manusia untuk memiliki sifat pemaaf “Barangsiapa melakukan tiga hal berikut ini, ia akan dihisab dengan mudah dan akan masuk syurga dengan rahmat-Nya: Pertama memberi kepada orang yang bakhil; kedua, silaturahim dengan orang yang memutuskannya; ketiga, memberi maaf kepada orang yang zalim” (HR. Ath-Thabrani).
Tidak jarang meminta maaf lebih sulit dari memaafkan. Bagi sebahagian orang, meminta maaf dianggap sebuah perbuatan yang merendahkan harga dirinya. Mereka tidak menyedari, bahawa meminta maaf adalah usaha penghapusan kesalahan pada manusia dan pengampunan dosa pada Yang Maha Kuasa.
Wallahu'alam bishowab…
Label: artikel
Catat Ulasan
<< Hadapan